Kamis, 28 Mei 2009

Batara Narada

Gambar : www.lv-imports.com

Sanghyang Caturkaneka adalah saudara Sanghyang Tunggal dan mempunyai putra yang bernama Sanghyang Kanekaputra. Sanghyang Kaneka putra mempunyai banyak kelebihan diantara teman-teman sebayanya. Dia sangat pandai, ulet dan mempunyai control emosi yang sangat baik, sehingga segala persoalan yang dihadapinya selalu dapat diselesaikan dengan baik dan kepala dingin. Sifatnya yang selalu tertarik untuk belajar dan memperdalam apa yang telah dimilikinya, menjadikan dirinya Sanghyang yang cukup berilmu dan cakap dalam menjalani kehidupan, pendek kata dirinya mempunyai kemampuan yang setaraf dengan para resi dan menterjemahkan kehidupan ini.

Suatu ketika sang ayah mewariskan senjata sakti yang bernama Lingga Manik, dengan diwariskannya senjata tersebut sudah barang tentu membuat dirinya semakin disegani oleh siapapun. Hanya saja keadaan seperti itu tidak membuat Sanghyang Kanekaputra puas, bahkan dirinya sangat terobsesi mempunyai kemampuan yang melebihi siapapun. Karena memiliki keinginan untuk melebihi kemampuan para dewa semuanya, maka dia pergi bertapa ditengah lautan dengan menggenggam Lingga Manik untuk menyempurnakan kemampuannya.

Adanya seorang pemuda tampan yang melakukan tapa ditengah lautan dan ditambah oleh daya kekuatan Lingga Manik, membuat Kahyangan mejadi panas dan gonjang-ganjing. Setelah dilihat oleh Batara Guru melalui Kaca Trenggana ternyata hal ini disebabkan oleh Sanghyang Kanekaputra yang sedang bertapa. Untuk mengatasi hal tersebut Batara Guru mengutus para dewa dibawah pimpinan Batar Indra untuk membangunkannya dan membawanya ke Kahyangan untuk diadili. Para dewa berusaha untuk membangunkan Sanghyang Kanekaputra dan meminta untuk mau dibawa ke Kahyangan dan mempertanggungjawabkan situasi yang terjadi di Kahyangan saat itu. Karena Sanghyang Kanekaputra tetap bersikeras untuk melanjutkan tapanya, para dewa murka dan memaksanya untuk ikut. Hanya saja ternyata kemampuan Sanghyang Kanekaputra ternyata melebihi kemampuan seluruh dewa yang dating saat itu.

Batar Indra dengan sejata petirnya tidak mampu mengalahkannnya, begitu juga dengan Batara Brahma yang mencoba membakarnya tidak berhasil, dilanjutkan oleh Batara Bayu yang mengeluarkan angin puyuh / angin topan untuk menyapu tubuh Sanghyang Kanekaputra masih juga gagal. Batara Wisnu yang ikut untuk membujuk Sanghyang Kanekaputra mencoba untuk mengalahkannya yang diakhiri dengan penggunan senjata Cakra Udaksana yang menjadi andalan Batara Wisnu. Sesaat sebelum mengenai tubuhnya Sanghyang Kanekaputra mengatakan bahwa sesungguhnya Cakra Udaksana itu hanya bisa dikenakan kepada orang yang durjana, angkara murka dan selalu menyusahkan orang banyak. Ternyata ucapan itu membuat Cakra Udaksana tidak mau melukai Sanghyang Kanekaputra, malah menghilang kembali ke Batara Wisnu.

Batara Indra menghadap kepada Batara Guru dan memohon ampun karena tugas yang diembannya gagal dilaksanakan, dengan demikian Batara Guru turun langsung menhadapi Sanghyang Kanekaputra. Awalnya Batar Guru membujuk Sanghyang Kanekaputra untuk tidak meneruskan tapanya, hanya saja Sanghyang Kanekaputra selalu menolak bahkan mengajak Batara Guru berdebat mengenai masalah hidup dan kehidupan. Dalam perdebatan itu Batara Guru kalah telak dan harus mengakui bahwa Sanghyang Kanekaputra lebih pandai, bijaksana dan mempunyai wawasan yang lebih luas daripada dirinya. Sebagai penguasa Kahnyangan rasa ego masih menyelimuti perasaan Sanghyang Manikmaya / Batar Guru, dirinya merasa terhina dan marah karena berdebat. Pada suatu kesempatan Batara Guru mengaluarkan ajian pamungkas yang disebut Kemayan, saat kena ajian tersebut Sanghyang Kanekaputra berubah menjadi burukrupa. Akhirnya Sanghyang Kanekaputra mau ikut kepada Batara Guru, karena merasa kalah oleh Sanghyang Kanekaputra maka Batara Guru memanggilnya Kakang / Kakak sebagai penghormatan dan dijadikannya penasihat Kahyangan, Sanghyang Kanekaputra selanjutnya menggunakan nama Batara Narad / Resi Narada. Sesaat sebelum pergi ke Kahyangan saat berbicara berhadapan Batara Narada bersedekap dengan tangan didalam jubahnya, sehingga lengan jubah yang digunakan melambai-lambai tertiup angin. Melihat hal tersebut Batara Guru bergumam dalam dirinya seperti orang bertangan empat, saat itupula kutukan yang pernah diucapkan Sanghyang Tunggal menjadi kenyataan tangan Batara Guru bertambah sehingga menjadi empat. Walaupun menyesal telah bergumam dalam hati mengenai hal tersebut, keadaan dirinya tidak bisa berubah kembali.

Setiap orang mempunyai kemampuan dan kepandaian sendiri-sendiri, jangan pernah untuk memaksakan diri untuk menjadi makhluk yang paling mumpuni dan sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik ALLAH SWT Dzat Yang Maha Sempurna. Akui kekurangan kita dan hormati kelebihan orang lain, tidak perlu merasa maul bahkan marah karena kelebihan seseorang. Jangan pernah berbuat licik dan selalu berfikiran positif terhadap orang lain, jangan sekali-sekali mengumpat keadaan orang lain sekalipun dilakukan dalam hati.

2 komentar:

  1. Mohon maaf , dalam cerita ini berbeda dngan yg lain , di fikir scara logika sja , dewa ratu dari dewa brperilaku buruk itu sngat unik ya , ini cerita dari mna siapa yg mmbuat , sperti cerita dari walisongo ,yudhistira/puntodewo sebelum meninggal mengucapkan syahadat agar masuk surga , konyol kan

    BalasHapus

silakan beri komentar dan terima kasih atas pertisipasi Anda.