Rabu, 03 Juni 2009

Sanghiang Dewa Brata

Di Bale Mercukonda Kahyangan Swarga Maniloka Batara Guru memanggil Batara Indara dan Batara Wisnu, membahas keadaan Kawah Candaradimuka yang bergolak dan sepertinya akan meledak sewaktu-waktu. Jika hal tersebut terjadi niscaya seluruh dunia dan kahyangan akan hancur lebur karena ledakan dari Kawah Candradimuka ini.

Menurut Sanghyang Batara Guru hanya ada satu cara untuk menhindari hal tersebut, yaitu dengan cara memberikan tumbal / kurban adapun tumbal yang dimaksud tidak lain adalah Semar Lurah Kudapawana, pawongan / punakawan para pandawa sekaligus kakanya sendiri. Karena Semar adalah penjelmaan dari Sanghyang Ismaya yang bertugas untuk menuntun para ksatria ke jalan kebenaran dan selalu menjalankannya serta menjauhi segala tindakan yang salah.

Hanya saja keberadaan Semar saat itu tidak diketahui keadaannya dikarenakan disembunyikan dan dilindungi oleh Gatotkaca yang mengaku sebagai Sanghiang Dewa Brata, hal ini pula yang membuat Batara Guru gundah-gulana karena menganggap Gatotkaca menyalahi aturan dewata berani-berani mengaku sanghiang dan ada di marcapada. Awalnya Batara Indra dan Batara Wisnu menolak untuk mendatangi Pringgandani untuk membawa dan mengorbankan Semar, tetapi Batara Guru mengatakan daripada dunia dan kahyangan hancur lebur lebih baik mengorban satu orang. Setelah pertemuan tersebut Batara Indra mengajak dewa-dewa lainnya untuk menggempur Sanghiang Dewa Brata di Pringgandani. Selain menyuruh para dewa Batara Guru juga menyuruh seluruh raja-raja di dunia untuk mengambil Semar dari Gatotkaca dengan iming-iming hadiah berupa bidadari dan tinggal di kahyangan.

Dalam perjalanan menuju Pringgandani rombongan para dewa itu bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Bambang Jaya Santika, yang bermaksud untuk menghadap Sanghiang Oti Pati Jagatnata alias Batara Guru. Sebagai seorang pemuda yang sangat haus akan ilmu dia ingin menanyakan tentang ilmu kehidupan kepada raja para dewa tersebut. Namun maksud tersebut dihalang-halangi oleh para dewa, sehingga terjadilah perang tanding antara Bambang Jaya Santika dengan dengan para dewa. Ternyata kesaktian pemuda ini tidak bisa ditandingi oleh para dewa yang ada disitu.

Disaat para dewa sudah kewalahan dan tidak sanggup menghadapinya, tiba-tiba muncul cahaya yang berkilauan menuju tempat tersebut. Cahaya tersebut tidak lain adalah Batara Guru yang mengetahui para dewa sudah terdesak melawan Bambang Jaya Santika. Setelah berhadapan Batara Guru dia berjanji akan mejawab segala pertanyaan Bambang Jaya Santika bahkan memberikan ilmu yang sangat sakti diluar hadiah-hadiah lainnya dengan sayarat membawa Sanghiang Dewa Brata dan Semar ke Kahyangan.

Mendengar hal tersebut Bambang Jaya Santika sangat gembira dan segera menuju ke Pringgandani untuk membawa Sanghiang Dewa Brata dan Semar ke Kahyangan. Sementara itu Sanghiang Dewa Brata sibuk menghadapi raja-raja yang tergoda oleh hadiah dari Batara Guru, mencoba untuk bertarung dan merebut Semar Badranaya. Hanya saja semuanya tidak ada yang sanggup mengalahkan Sanghiang Dewa Brata, ternayata tidak semua ksatrian dan raja yang tergoda oleh iming-iming hadiah itu. Beberapa negara dan para pandawa tidak tergiur, bahkan lebih memilih untuk memperhatikan kejadian tersebut dan meningkatkan kewaspadaan jika runyamnya situasi tersebut akan dipergunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Bambang Jaya Santika akhirnya sampai ke Pringgandani tempat kediaman Sanghiang Dewa Brata, sesampainya ditempat tujuan Bambang Jaya Santika mengutarakan maksudnya untuk membawa Sanghiang Dewa Brata ke hadapan Batara Guru. Mendengar hal tersebut Sanghiang Dewa Brata menanyakan alasannya ingin membawa dirinya ke Batara Guru. Bambang Jaya Santika menjawab bahwa Batara Guru menjawab semua pertanyaannya dan memberikan ilmu jika berhasil membawa Sanghiang Dewa Brata ke Kahyangan. Mendengar hal tersebut Sanghiang Dewa Brata mengingatkan bahwa Bambang Jaya Santika sudah diadu domba oleh Batara Guru dengan dirinya, Banbang Jaya Santika sadar dan meminta maaf. Selanjutnya Sanghiang Dewa Brata menyarankan agar Bambang Jaya Santika menemui gurunya yang bernama Pandita Ajar Padang di Pertapaan Loka Sampurna yang terletak dekat Saungai Gangga.

Selajutnya Bambang Jaya Santika menuju ke Pertapaan Loka Sampurna dengan maksud menemui Pandita Ajar Padang. Setelah bertemu dengan Sang Pandita ternyata seluruh pertanyaannya bisa dijawab dengan benar bahkan dijabarkan dengan baik untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga Bambang Jaya Santika mengaku Pandita Ajar Padang sebagai gurunya. Sementara itu di Pringgandani Sanghiang Dewa Brata kedatangan seorang tamu istimewa, dia adalah Batara Guru yang tidak sabar karena seluruh suruhannya tidak ada yang berhasil mengalahkan Sanghiang Dewa Brata. Batara Guru meyalahkan tindakan Gatotkaca yang mengaku-mengaku Sanghiang dan menyembunyikan Semar sehingga diserang dengan Ajian Kemayan. Ajaib sekali Ajian Kemayan yang bisa membuat lawan lemas dan lumpuh tidak mempan. Setelah bertarung sekian lama belum ada yang kalah belum ada yang menang, suatu saat Sanghiang Dewa Brata berkata maksud Batara Guru untuk mengorbankan Semar yang juga saudaranya sebagai kelakuan siluman yang berwujud denawa/raksasa bukan kelakuan seorang dewa. Mendadak wujud Batara Guru berubah menjadi denawa, yang kemudian mengamuk. Melihat hal tesebut Sanghiang Dewa Brata sengaja menghindar dan berlari ke Pertapaan Loka Sampurna untuk meminta bantuan kepada gurunya.

Sesampainya disana Sanghiang Dewa Brata menyampaikan bahwa dirinya sedang dikejar-kejar oleh Batara Guru yang sudah berubah wujud menjadi denawa. Tidak lama kemudian datanglah denawa tersebut dan bermaksud untuk menghajar Sanghiang Dewa Brata, melihat hal tersebut Bambang Jaya Santika maju dan terjadilah perang tanding yang sangat sengit, tetapi Bambang Jaya Santika kalah dan dibanting ketanah. Saat itu hilang tubuh Bambang Jaya Santika dan berubah menjadi Batara Narada penasehat Batara Guru. Melihat hal tersebut Pandita Ajar Padang memberikan sebuah panah kepada Sanghiang Dewa Brata untuk melawan denawa, kemudian denawa tersebut dipanah oleh Sanghiang Dewa Brata dan berubah menjadi asap hitam yang merupakan penjelmaan dari sukma Sanghiang Rancasan.

Kejadian-kejadian tersebut tidak lepas dari pengamatan Sri Batara Kresna, setelah melihat sukma Sanghiang Rancasan melesat jauh ke angkasa. Sri Batara Kresna mengeluarkan senajata Cakra Udaksana dan ditujukan ke Pandita Ajar Padang, hilang wujud sang pandita berubah menjadi Semar Badranaya. Kemudian senjata Cakra ditujukan ke Sanghiang Dewa Brata saat itu keluarlah Batara Guru dari raga Gatotkaca. Ternyata Batara Guru asli manunggal dengan Gatotkaca, sedangkan Batara Guru yang ada di Kahyangan adalah sukma atma Sanghiang Rancasan yang merebut tahta darinya dan ingin membalas dendam kepada Semar yang merupakan penjelmaan dari Sanghiang Ismaya.

Dalam kehidupan ini semua orang harus selalu waspada untuk mengantisipasi segala kemungkinan dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Bila ada masalah yang sangat penting jangan sungkan-sungkan untuk meminta bantuan walaupun itu harus berbaur dengan orang yang secara kedudukan berada dalam tingkatan lebih rendah. Rendah kedudukan bukan berarti tidak mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk memecahkan suatu masalah. Dalam menyelesaikan suatu masalah tidak dibenarkan dengan cara merugikan atau mengorbankan seseorang, hakikatnya dalam hidup ini semua orang itu bersaudara. Kebenaran akan tetap terlihat dan kebathilan akan selalu kalah oleh kebenaran.

Seluruh gambar dari : www.wayanggolek.net


Senin, 01 Juni 2009

Gatotkaca Lahir


Setelah sekian lama ditunggu-tunggu akhirnya Dewi Arimbi mengandung anak dari Bima. Seluruh rakyat Pringgandani sangat bersukacita, dikarenakan anak ini akan menjadi generasi penerus sebagai Raja di Pringgandani bila Dewi Arimbi sudah tiada.

Saat itu seluruh putra Pandawa disertai Sri Batara Kresna tidak ketinggalan seluruh punakawan Semar, Astrajingga, Dawal dan Gareng berkumpul di Istana Pringgandani, merka sedang berkumpul menunggu saat kelahiran sang putra Bima. Tidak lama berselang terdengar tangisan bayi menggelegar menggentarkan seantero Pringgandani, seluruhnya yang berada di bangsal menarik nafas panjang. Sesaat kemudian ada emban yang menghaturkan berita bahwasanya sang putra mahkota laki-laki telah lahir dalam keadaan sehat begitu juga dengan kondisi sang ibu. Mendengar hal tersebut bertambahlah kebahagian semuanya, satu persatu dari mereka memberikan selamat kepada Raden Aria Werkudara alias Bima atas kelahiran putrannya.

Beberapa waktu kemudian mereka bisa masuk menjenguk kedalam kamar, disana terlihat Dewi Arimbi sedang berbaring diatas ranjang berhiaskan emas permata beralaskan sutera berwarna biru terlihat senang dengan senyum mengembang dibibirnya menyambut kedatangan Bima diiringi oleh seluruh kadang wargi (saudara). Tidak jauh dari tempatnya berbaring terlihat sebuah tempat tidur yang lebih kecil, diatasnya tergolek seorang bayi laki-laki sangat gagah dan tampat layaknya ksatria trah dewa, hanya saja ari-ari dari bayi tersebut masih menempel belum diputus. Ketika hal tersebut ditanyakan emban menjawab bahwa seluruh upaya untuk memotong tali ari-ari tersebut selalu gagal. Tidak ada satu senjatapun yang berhasil memotongnya.

Mendengar hal tersebut Bima sangat gusar dan meminta tolong kepada saudara-saudaranya untuk memotong tali ari-ari anaknya yang diberinama Jabang Tutuka. Bima mencoba memotong dengan kuku pancana gagal, diikuti oleh Arjuna mencoba menggunakan seluruh senjatanya diawali dengan keris Pancaroba, keris Kalandah, panah Sarotama bahkan panah Pasopati semuanya gagal. Sri Batara Kresna yang saat itu hadir mencoba dengan senjata saktinya Cakra Udaksana, hanya menghasilkan percikan-percikan api ketika dicoba memotong tali ari-ari itu. Semuanya terbengong-bengong merasa takjub dan heran disertai rasa putus asa, Dewi Arimbi hanya bisa menangis melihat hal tersebut dirundung rasa khawatir jika anaknya harus membawa tali ari-ari hingga dewasa. Ditengah suasana tersebut tanpa diketahui sebelumnya Begawan Abiyasa yang tak lain kakek dari para Pandawa atau buyut dari Jabang Tutuka telah hadir ditempat tersebut, semua yang hadir memberikan sembah sungkem kepadanya. Begawan yang sakti mandraguna ini mengatakan bahwa tali ari-ari itu hanya akan bisa dipotong oleh senjata kadewatan yang berasal dari Batar Guru. Untuk itu Sang Begawan meminta Arjuna untuk pergi ke Kahyangan mencari senjata tersebut. Setelah mendapat perintah dari kakeknya dan meminta ijin kepada saudara-saudaranya Arjuna disertai oelh para punakawan segera menuju Kahyangan untuk mencari senjata yang dimaksud oleh Begawan Abiyasa, sedangkan Sang Begawan sendiri bergegas pulang kembali ke Padepokan setelah memberikan do’a serta merapal beberapa mantra untuk buyut / cicitnya tersebut.

Nun jauh di Kahyangan sana keadaan sedang gonjang-ganjing dikarenakan serangan dari Naga Percona yang ingin memperistri salah satu bidadari yang bernama Dewi Supraba. Dikarenakan Naga Percona bukan sembarang makhluk, dia adalah raja yang mempunyai kesaktian mumpuni dan bisa dikatakan sama bahkan sedikit diatas diatas para dewa, jelas sangat merepotkan barisan dewa-dewa yang dipimpin oleh Batara Indra dalam menghadapi nya. Serangan petir Batara Indra tidak ubahnya lemparan daun-daun kering dari anak-anak, kobaran api Batara Brahma hanya menjadi menjadi mainan saja. Batara Bayu yang mendoronganya dengan badai besar tidak membutnya mundur walaupun seujung kuku, bahkan badannya tidak goyang sedikitpun. Cakra Udaksana dari Batar Wisnu sama sekali tidak mencenderainya, singkatnya para dewa dipukul mundur dengan kondisi babak-belur.

Batara Guru merapal mantra dan melihat Kaca Trenggana, diperoleh keterangan bahwa yang bisa mengalahkan Naga Percona hanyalah Jabang Tutuka anak Bima yang baru lahir. Selanjutnya Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk memberikan senjata darinya yang bernama panah Konta Wijayadanu kepada Arjuna untuk memotong ari-ari Jabang Tutuka dengan imbalan bayi tersebut harus menjadi panglima perang mengahadapi Naga Percona. Disaat yang bersamaan Aradeya atau Karna sedang bertapa di tepi Sungai Gangga mencari senjata sakti untuk dirinya, pada saat Batara Narada mendekati tempat tersebut hatinya senang karena Aradeya ini disangkanya Arjuna, karena rupanya benar-benar mirip dan Batara Surya yang merupakan ayah dari Aradeya sengaja mengeluarkan sinar berkilauan disekitar Aradeya sehingga Batara Narada tidak terlalu jelas melihatnya, sehingga tidak sadar bahwa orang yang diserahi senjata tersebut bukanlah Arjuna.

Setelah mendapatkan senjata sakti kadewatan Aradeya sangat gembira dan langsung berlari tanpa mengucapkan terima kasih kepada Batara Narada, hal itu membuat Batara Narada tersadar bahwa dia salah orang, tidak lama kemudian Arjuan disertai oleh para Punakawan dating ketempat tersebut, dengan sedih Batara Narada bercerita bahwa dirinya telah salah orang menyerahkan senjata kadewatan yang seharusnya diserahkan kepada Jabang Tutuka lewat tangan Arjuna, malah diserahkan kepada orang yang tidak dikenal dan mempunyai rupa mirip dengan Arjuna. Mendengar hal tersebut Semar sangat menyalahkan Batara Narada karena gegabah menyerahkan senjata sakti kepada orang asing, serta segera meminta Arjuna mengejar orang tersebut.

Arjuna berlari dan berhasil menyusul Aradeya, awalnya senjata tersebut diminta baik-baik dan dikatakan akan digunakan olehnya untuk memotong tali ari-ari keponakannya. Aradeya tidak menggubrisnya akhirnya terjadi perang-tanding memperebutkan senjata tersebut, sampai suatu ketika Arjuna berhasil memegang sarung senjata tersebut sedangkan Aradeya memegang gagang panah Konta Waijayadanu. Mereka saling tarik dan akhirnya terjerembab dikarenakan senjata Konta lepas dari warangka / sarungnya. Kemudian Aradeya berlari kembali dan kali ini Arjuna kehilangan jejak.

Dengan sedih hati Arjuna menunjukkan warangka senjata Konta kepada Semar, kemudian atas saran Semar mereka kembali ke Pringgandani sedangkan Batara Narad disuruh pulang ke Kahyangan dan dikatakan bahwa Jabang Tutuka akan segera dibawa ke Kahyangan. Sesampainya di Keraton Pringgandani warangka tersebut digunakan untuk memotong tali ari-ari Jabang Tutuka, ajaib sekali tali ari-ari putus sedangkan warangka senajata kadewatan itu masuk kedalam udel Jabang Tutuka. Hal ini menurut Semar sudah menjadi suratan bahwa nanti diakhir cerita peperangan besar / Bharata Yuda senjata itu akan masuk kembali kewarangkanya, dengan kata lain Jabang Tutuka akan mati jika menghadapi senjata Konta Wijayadanu.

Setelah tali ari-ari berhasil dipotong Arjuna hendak membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan untuk memenuhi janji kepada Batara Narada, bahwa Jabang Tutuka akan menjadi panglima perang dan menghadapi Naga Percona. Awalnya Bima melarang karena anaknya masih bayi dan dirinya sanggup untuk menggantikan melawan Naga Percona. Setelah Semar berkata bahwa Jabang Tutukalah yang harus berangkat karena dia yang dipercaya oleh dewa dan Jabang Tutuka pula yang telah menggunakan senjata kadewatan bukan yang lain. Disamping itu Semar menjamin jika terjadi suatu hal yang menyebabkan Jabang Tutuka celaka, Semar berani menaruhkan nyawanya kepada Bima. Mendengar hal tersebut dari Semar, Bima yang mempunyai pandangan linuwih dan menyadari siapa sesungguhnya Semar ini, akhirnya mengijinkan putra berperang melawan Naga Percona.

Arjuna disertai par Punakawan segera membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan, setelah mendekati gerbanga Selapa Tangkep tepatnya di Tegal Ramat Kapanasan Arjuna meletakkan Jabang Tutuka ditengah jalan menuju gerbang. Selanjutnya Arjuna memperhatikan dari jauh bersama dengan para dewa, tak lama berselang Naga Percona dating dan melihat ada bayi ditengah jalan. Dia meledek Batara Guru yang dikatakannya sudah gila karena menyuruhnya bertarung dengan bayi yang hanya bisa menangis. Kemudia dia mengangkat Jabang Tutuka dan mendekatkan wajahnya ke wajah bayi tersebut, tidak disangkan tangan Jabang Tutuka mengayun dan berhasil meluaki satu matanya sehingga berdarah. Kontan Naga Percona marah dan membanting Jabang Tutuk kea rah pintu gerba hingga mati. Melihat hal tersebut para dewa tak terkecuali Batar Guru, Batara Narada dan Arjuna kaget dan was-was jika Bima sampai tahu anaknya mati oleh Naga Percona pasti akan mengamu ke Kahyangan. Hanya saja Semar dengan cepat berbisik ke Batara Guru untuk segera menggodok Jabang Tutuka di Kawah Candradimuka, Batara Guru segera memerintahkan Batara Yamadipati untuk segera membawa tubuh Jabang Tutuka ke Kawah Candradimuka dan menggodoknya. Selanjutnya para dewa disuruhnya melemparkan / mencampurkan senajata yang dimilikinya untuk membentuk tuduh Jabang Tutuka lebih kuat, lama-kelamaan terbentuklah tubuh satria gagah dari dalam godogan tersebut. Kemudian para dewa membirkannya pakaian dan perhiasan untuk Jabang Tutuka yang baru tersebut, selanjutnya diakarenakan dia mati belum waktunya berhasil dihidupkan kembali oleh Batar Guru.

Selain mendapat anugerah berupa pakaian, perhiasan dan senjata yang sudah membentuk tubuhnya Jabang Tutuka juga memperoleh beberanama dari para dewa diantaranya : Krincing Wesi, Kaca Negara, Purabaya, Kancing Jaya, Arimbi Suta, Bima Putra dan Gatotkaca. Nama terakhir inilah yang kemudian digunakan dalam dunia pewayangan. Dengan tampilan yang sangat beda dari sebelumnya Jabang Tutuka yang menggunakan nama baru Gatotkaca bertempur kembali dengan Naga Percona, dan akhirnya behasil merobek mulut dan tubuh Naga Percona menjadi dua bagian. Itulah akhir dari hidupnya Naga Percona yang membawa kedamaian di Kahyangan, sekaligus menjadi awal kepahlawanan Gatotkaca sang putra Bima.

Manusia yang lahir ke dunia hendaknya bisa berguna bagi orang lain, idealnya dari mulai menghirup nafas di bumi ini hingga akhir hayatnya bisa berguna bagi orang lain. Kelahiran anak sudah pasti menjadi kebanggaan dari orangtua, apalagi jika sang anak benar-benar bisa berguna dan berjasa bagi sesama. Untuk mencapai keberhasilan jangan segan-segan menempa kemampuan anak sesuai dengan batas kemampuan anak tersebut, sehingga bisa memaksimalkan seluruh bakat dan kemampuannya yang terpendam, disamping itu tempaan yang diterima oleh anak akan menjadikannya kuat, tabah dan dewasa dalam berfikir dan bertindak. Selain itu jika memegang amanat handaklah bisa dipercaya dan tepat memberikannya kepada tujuan yang benar, jangan sampai salah menyampaikan amanat dikarenakan akan menimbulkan malapetaka diakhir kemudian. Seluruh perjuangan pasti membutuhkan pengorbanan.